*BANGKA* – Suasana siang itu di Divisi V perkebunan kelapa sawit PT Gunung Maras Lestari (GML) Desa Bukit Layang, Kabupaten Bangka, berubah tegang. Dua unit alat berat (PC) tampak bekerja meratakan lahan, menumbangkan pohon-pohon sawit yang selama bertahun-tahun menjadi bagian dari kebun perusahaan. Di balik suara mesin alat berat, bisik-bisik kabar soal rencana pembukaan tambang timah oleh mitra PT Timah Tbk kian santer terdengar di tengah masyarakat. Jum'at (19/9/2025)
Kabar inilah yang kemudian memantik keingintahuan sekaligus kegeraman warga dari beberapa desa sekitar, seperti Bukit Layang, Dalil, Kayu Besi, hingga Mabat. Mereka bertanya-tanya: **sejak kapan lahan sawit PT GML yang selama ini dikelola untuk perkebunan tiba-tiba beralih fungsi menjadi lokasi pertambangan timah?**
*Muncul Pertanyaan Soal Alih Fungsi Lahan*
Seorang tokoh pemuda Desa Kayu Besi, **Suryadi**, mengungkapkan kegelisahan itu secara lantang. Ia menilai rencana penambangan di areal kebun sawit bukan hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga mencederai kepercayaan masyarakat.
“Hal inilah yang menjadi pertanyaan bagi kami. Lantas sejak kapan adanya perubahan alih fungsi pemanfaatan lahan kebun sawit PT GML itu? Kok sekarang tiba-tiba terdengar kabar ada kegiatan tambang,” kata Suryadi saat ditemui tim media, Rabu (17/9/2025).
Kekesalan Suryadi makin bertambah ketika mengingat bahwa PT GML sendiri masih menyisakan persoalan dengan warga, khususnya terkait kewajiban plasma 20 persen yang belum pernah direalisasikan perusahaan. “Hak plasma saja belum beres, malah sekarang muncul kabar ada tambang timah di kebun sawit. Ada apa di balik semua ini? Masyarakat seolah-olah dipermainkan,” tegasnya.
*Warga Beramai-ramai Datangi Lokasi*
Sekitar pukul 11.30 WIB, puluhan warga dari empat desa berangkat menggunakan sepeda motor menuju Divisi V PT GML. Jumlah mereka mencapai sekitar 25 orang, dengan Suryadi sebagai koordinator lapangan. Tujuannya jelas: melihat langsung aktivitas yang sedang berlangsung dan mencari kepastian soal kabar tambang.
Pantauan di lokasi, suasana cukup mencolok. Pohon-pohon sawit yang sebelumnya tumbuh rapi kini tampak tumbang, sebagian sudah rata dengan tanah. Di beberapa titik terlihat lubang besar menyerupai “lobang camui”, istilah lokal untuk bekas galian tambang. Dua alat berat masih terus bekerja, memperkuat dugaan warga bahwa lahan itu memang dipersiapkan untuk penambangan timah.
*Kehadiran Sosok Diduga Anggota TNI*
Kehadiran warga rupanya mengundang perhatian pihak yang berada di sekitar lokasi. Tak lama kemudian, muncul seorang pria berpenampilan preman namun mengaku berasal dari salah satu kompi **TNI AD** di Bangka. Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai **Rio** itu menyambangi kerumunan warga dan mengklaim bahwa ia bertugas melakukan pengamanan.
Dalam dialog singkat, Rio terang-terangan menyebut bahwa lahan yang digarap memang akan dijadikan lokasi tambang oleh mitra PT Timah Tbk asal Mentok, Bangka Barat. Ia juga menambahkan bahwa PT Timah sudah berkoordinasi dengan **Kodam Sriwijaya** terkait rencana itu.
“Pihak PT Timah meminta pengamanan dari Kodam. Saya di sini hanya menjalankan tugas pengamanan,” ungkapnya di hadapan warga.
Pernyataan ini sontak membuat suasana kian panas. Warga menuntut agar segera dipertemukan dengan pihak manajemen mitra PT Timah untuk mendapatkan penjelasan resmi. Namun Rio berdalih perwakilan perusahaan tidak berada di lokasi. Ia berjanji akan membantu mempertemukan warga dengan pihak terkait di lain kesempatan.
*Suasana Makin Tegang*
Belum selesai dialog dengan Rio, dua pria lain kembali mendatangi kerumunan. Penampilan mereka pun serupa: berpakaian preman dengan tubuh tegap, diduga juga anggota TNI. Salah satu di antaranya, bernama **Iwan**, sempat menanyakan alasan warga hadir di lokasi.
Iwan menegaskan bahwa dirinya bersama rekannya memang ditugaskan untuk pengamanan rencana tambang. Ia juga menampik bahwa sudah ada aktivitas penambangan, melainkan hanya sebatas penggarapan lahan sebagai persiapan.
Meski demikian, jawaban itu tak memuaskan warga. “Kenapa tidak ada sosialisasi? Mengapa warga yang wilayah desanya terdampak tidak pernah diajak bicara?” desak salah seorang warga lain.
Ketegangan pun tak terhindarkan, meski dialog berlangsung relatif kondusif berkat upaya kedua belah pihak menahan diri. Namun satu hal yang pasti, warga pulang dengan rasa tidak puas dan kian curiga terhadap proses yang berlangsung di balik layar.
*Pertanyaan yang Tak Terjawab*
Peristiwa ini memunculkan sederet pertanyaan serius:
* Apakah PT GML secara resmi mengubah fungsi lahannya dari perkebunan sawit menjadi pertambangan?
* Mengapa rencana tambang justru muncul ketika kewajiban plasma kepada masyarakat belum terpenuhi?
* Benarkah PT Timah sudah berkoordinasi dengan Kodam Sriwijaya untuk pengamanan, sementara warga sama sekali tidak dilibatkan?
* Apa dasar hukum aktivitas alat berat yang telah menumbangkan sawit dan menggali lahan sebelum ada izin resmi yang diketahui publik?
Ironisnya, hingga berita ini diturunkan, **konfirmasi dari pihak-pihak berwenang belum diperoleh.** Upaya tim media menghubungi **Danrem 045/Garuda Jaya Brigjen TNI (Inf) Safta** melalui pesan WhatsApp tidak berbalas. Begitu pula pesan singkat kepada **Humas PT Timah Tbk, Anggi Siahaan**, yang tak direspons.
*Dilema Sosial-Ekonomi*
Kasus ini tidak sekadar soal tambang, melainkan juga persoalan sosial-ekonomi masyarakat sekitar. Selama ini, desa-desa seperti Bukit Layang, Dalil, Kayu Besi, dan Mabat menggantungkan sebagian penghidupan dari perkebunan sawit, baik melalui pekerjaan langsung maupun kegiatan ekonomi turunan. Jika lahan itu berubah menjadi tambang, mereka khawatir kehilangan sumber nafkah yang relatif lebih stabil dibanding aktivitas tambang yang fluktuatif.
Tak hanya itu, isu lingkungan juga menghantui. Penambangan timah, terutama yang dilakukan di lahan darat, sering meninggalkan kerusakan berupa lubang besar, tanah kritis, hingga pencemaran air. Hal ini dikhawatirkan akan menambah daftar panjang persoalan ekologis di Bangka Belitung yang sudah rentan akibat aktivitas tambang selama puluhan tahun.
*Desakan Transparansi*
Masyarakat kini menuntut **transparansi**. Mereka ingin tahu siapa sebenarnya mitra PT Timah yang akan beroperasi, bagaimana mekanisme perizinannya, serta apa bentuk kompensasi atau keterlibatan warga dalam kegiatan itu. Tanpa kejelasan, alih fungsi lahan sawit ke tambang akan selalu dianggap sebagai praktik sepihak yang merugikan rakyat kecil.
“Kalau memang ada tambang, seharusnya perusahaan terbuka, melakukan sosialisasi, dan melibatkan masyarakat. Jangan sampai keputusan besar seperti ini dilakukan diam-diam,” ujar Suryadi.
*Potret Relasi Kuasa*
Kasus ini juga menyingkap potret relasi kuasa di sektor pertambangan timah Bangka Belitung. Kehadiran pihak yang mengaku sebagai anggota TNI di lokasi, dengan alasan pengamanan, menunjukkan betapa eratnya hubungan antara perusahaan tambang dan aparat keamanan. Di sisi lain, masyarakat yang seharusnya menjadi pemilik hak sosial atas wilayahnya justru berada di posisi lemah, hanya bisa bertanya tanpa mendapat jawaban jelas.
Jika pola ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan lahir konflik horizontal maupun vertikal yang merugikan semua pihak. **Tambang tanpa persetujuan masyarakat adalah bom waktu.**
*Menanti Kejelasan*
Hingga kini, misteri rencana tambang di kebun sawit PT GML Divisi V masih belum terjawab tuntas. Aktivitas alat berat, keberadaan sosok-sosok diduga anggota TNI, serta sikap diam pihak perusahaan justru memperkuat kecurigaan publik.
Yang jelas, warga sudah bersuara: mereka menolak diperlakukan sebagai penonton di tanah sendiri. Pertanyaan kini bergulir kepada PT GML, PT Timah Tbk, dan aparat terkait: **apakah keberlanjutan lingkungan dan hak masyarakat akan diprioritaskan, ataukah kepentingan ekonomi segelintir pihak lebih diutamakan?* (KBO Babel)
Baca Juga
Tags:
Berita
