“Kasus dr. Ratna Setia Asih Sp.A: Alarm Perlindungan Tenaga Kesehatan di Bangka Belitung”* (Opini)

“Kasus dr. Ratna Setia Asih Sp.A: Alarm Perlindungan Tenaga Kesehatan di Bangka Belitung”* (Opini)



Bangka Belitung - Penetapan tersangka terhadap dr. Ratna Setia Asih Sp.A, dokter spesialis anak di RSUD Depati Hamzah Pangkalpinang, merupakan sebuah peristiwa yang patut menjadi perhatian serius seluruh pemangku kepentingan sistem kesehatan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kasus ini tidak hanya menyangkut seorang tenaga medis, tetapi juga menggambarkan rapuhnya sistem perlindungan hukum, tata kelola klinis, dan peran organisasi profesi dalam melindungi dokter yang menjalankan tugas pelayanan kesehatan.

1. Kado Pahit di HUT Provinsi Babel ke-24
Di tengah semangat perayaan Hari Ulang Tahun Provinsi Bangka Belitung ke-24, kasus ini menjadi ironi: alih-alih menghadirkan capaian kemajuan pelayanan kesehatan, publik justru disuguhi krisis yang menyangkut keselamatan profesi medis.

Momentum ini menjadi “kado pahit” bagi para tenaga kesehatan di Babel, yang kini mempertanyakan sejauh mana perlindungan terhadap mereka ketika menjalankan tugas.

2. Cermin Kegagalan Sistemik: OP Profesi dan Manajemen RS Tidak Menjadi Perisai

Kasus dr. Ratna menyoroti beberapa kelemahan struktural:

- Organisasi profesi (IDI, IDAI) belum optimal menjalankan fungsi advokasi dan perlindungan hukum.

- Manajemen RSUD Depati Hamzah tampak tidak memiliki sistem respons risiko hukum, komunikasi medis, dan root cause analysis yang kuat untuk mencegah eskalasi kasus ke ranah pidana.

- Sistem mediasi dan restorative justice gagal tercapai, menandakan adanya celah komunikasi dan negosiasi antara RS, dokter, keluarga pasien, dan penegak hukum.

Ketika mekanisme etik, disiplin, dan internal hospital governance tidak berjalan efektif, maka proses pidana menjadi jalan utama, bukan jalan terakhir—dan ini berbahaya bagi dunia kedokteran.

3. Penguatan Industri Hukum atas Pelayanan Kesehatan.
Kasus ini juga menunjukkan meningkatnya dominasi industri hukum dalam sektor pelayanan kesehatan. Fenomena kriminalisasi dokter bukan hal baru, dan kasus ini mempertegas pola yang pernah terjadi juga pada beberapa sektor lainnya—misalnya eskalasi hukum dalam kasus pengelolaan korporasi nasional.

Ketika ranah etik dan disiplin profesi dilewati, maka pelayanan kesehatan berpotensi lumpuh oleh rasa takut. Dokter defensif, keputusan klinis konservatif, dan akhirnya masyarakat sendiri yang dirugikan.
4. Perlunya Reformasi Tata Kelola Kesehatan di Babel

Rilis ini merekomendasikan:

1. Penguatan perlindungan hukum tenaga kesehatan melalui SOP pendampingan, legal audit, dan advokasi sejak awal kasus.
2. Reformasi governance RSUD Depati Hamzah terutama pada manajemen risiko klinis, pelaporan insiden (incident reporting), dan manajemen komunikasi keluarga.
3. Revitalisasi organisasi profesi agar kembali menjalankan mandat perlindungan dan pembinaan anggota secara nyata.
4. Edukasi publik mengenai batasan profesional medis, risiko klinis, dan perbedaan antara komplikasi, adverse event, dan malapraktik. 
Kasus dr. Ratna harus menjadi titik balik untuk memperbaiki sistem, bukan sekadar menyalahkan individu.

TINJAUAN PUSTAKA

Perlindungan Tenaga Kesehatan & Tata Kelola Pelayanan Kesehatan

1. Ranah Etik, Disiplin, dan Hukum dalam Profesi Kedokteran

Literatur menyebutkan bahwa sengketa medis idealnya melalui tiga tahapan:

1. Etik – oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
2. Disiplin – oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
3. Perdata/Pidana – sebagai langkah terakhir

(Sumber: WHO Patient Safety Framework; UU Praktik Kedokteran No. 29/2004; Permenkes terkait Disiplin dan Etik Kedokteran.)

Ketika dua tahap pertama dilewati atau tidak berfungsi optimal, risiko kriminalisasi meningkat.

2. Konsep Just Culture dalam Rumah Sakit
Dekade terakhir, sistem internasional mendorong konsep “just culture”, di mana:

insiden medis dipetakan sebagai error, at-risk behavior, atau reckless behavior,

dan masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda (Dekker, Just Culture, 2017).

Negara yang gagal membedakan ketiganya akan menyebabkan insiden klinis otomatis masuk ranah pidana.

3. Restorative Justice dalam Kasus Kesehatan

Restorative Justice dalam pelayanan kesehatan sangat dianjurkan WHO dan Council of Europe, karena:

- memperkuat keadilan korban,
- menjaga keberlanjutan layanan kesehatan,
- mencegah kepanikan tenaga kesehatan.

Kegagalan RJ biasanya muncul karena lemahnya mediasi, komunikasi, atau manajemen RS (Carroll, 2020; WHO Mediation in Healthcare Disputes, 2019).

4. Perlindungan Tenaga Kesehatan dalam Sistem Hukum

Beberapa negara maju menerapkan:

- Medical Liability Reform
- Safe Harbor Law
- No-Fault Compensation System

Tujuannya agar dokter tidak dihukum pidana ketika menjalankan standar profesi (Studdert & Brennan, Medical Malpractice Reform, NEJM 2022).

Indonesia belum menerapkan sistem ini secara penuh.

5. Dampak Kriminalisasi Dokter

Penelitian internasional menunjukkan kriminalisasi dokter menyebabkan:

- peningkatan defensive medicine (Kachalia, JAMA 2020)

- meningkatnya biaya kesehatan
- meningkatnya angka rujukan tidak perlu
- menurunnya minat dokter bekerja di daerah
- Dampak ini dapat terjadi di Babel jika ekosistem hukum tidak diperbaiki.

PENUTUP

Kasus dr. Ratna bukan hanya kasus individu, melainkan indikator rapuhnya sistem perlindungan tenaga kesehatan di Provinsi Bangka Belitung. Perlu langkah serius, komprehensif, dan terukur untuk memastikan bahwa dokter dapat bekerja aman, masyarakat terlindungi, dan manajemen rumah sakit mampu menjadi garda terdepan penyelesaian masalah medis sebelum masuk ranah pidana. (*)

Baca Juga

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama