Indonesia dan Dilema Energi ala Prometheus dan Ikarus

Indonesia dan Dilema Energi ala Prometheus dan Ikarus


Penulis: Andra Dihat Putra, S.Kom., FMVA. Economics and Policy Analyst.


Jakarta - Dalam ekonomi, sering kali kita menghadapi pilihan yang tidak semata teknis, tetapi juga moral dan psikologis. Ketika Indonesia memperdebarkan energi nuklir, terutama dalam konteks transisi menuju emisi nol bersih, perdebatan itu mengingatkan kita pada dua mitologi Yunani yang sudah berusia ribuan tahun.

Prometheus yang mencuri api untuk memberi manusia kemampuan mencipta, dan Ikarus yang jatuh karena sayap lilinnya meleleh ketika terlalu dekat dengan matahari. Keduanya memberi gambaran sederhana tentang dua jalan: keberanian yang terukur, atau ketakutan yang membatasi.

Pada akhirnya, pertanyaan soal energi nuklir tidak hanya mengenai reaktor atau teknologi. Ini soal bagaimana sebuah bangsa memahami risiko dan peluang, serta bagaimana kita belajar dari sejarah untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

*Makna Api Prometheus dalam Konteks Energi*

Api yang dibawa Prometheus selalu dimaknai sebagai simbol pengetahuan, teknologi, dan keberanian mengambil keputusan yang membuka kemungkinan baru.

Dalam konteks nuklir, api itu setara dengan kemampuan manusia menghasilkan energi bersih dari atom secara aman dan efisien. Satu gram uranium-233 dari siklus thorium dapat menghasilkan energi setara berton-ton batu bara.

Sebuah reaktor berkapasitas 500 megawatt dapat memasok listrik bagi jutaan rumah selama puluhan tahun tanpa emisi karbon.

Bila dilihat dari perspektif ekonomi pembangunan, energi seperti ini memberikan apa yang oleh filsuf Jerman Martin Heidegger disebut kondisi keterbukaan.

Dengan pasokan energi yang stabil dan rendah emisi, sebuah negara memiliki ruang untuk memikirkan kebijakan yang lebih panjang: industrialisasi hijau, kualitas udara lebih baik, serta anggaran kesehatan yang lebih ringan karena polusi berkurang.

Energi semacam ini tidak hanya menyelesaikan masalah hari ini, tetapi memberi waktu bagi generasi berikutnya untuk berinovasi.

Contoh negara yang memilih jalur Prometheus cukup banyak. Prancis mengandalkan nuklir untuk sekitar tujuh puluh persen listriknya dan memiliki emisi per kapita lebih rendah dari banyak negara Eropa. Ontario di Kanada menjadikan nuklir tulang punggung bauran energinya dan menikmati harga listrik yang stabil. Uni Emirat Arab membangun reaktor Barakah dan kini menghasilkan listrik bersih secara konsisten.

Mereka melihat teknologi bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang.

Di Indonesia, peluang itu sebenarnya ada. Cadangan thorium di Bangka Belitung termasuk yang terbesar di Asia Tenggara. Proyek reaktor generasi IV seperti molten salt reactor menawarkan keselamatan yang jauh lebih tinggi dari generasi sebelumnya.

Jika dikelola dengan baik, teknologi ini bisa menjadi fondasi transisi energi yang lebih realistis dibanding hanya berharap pada sumber intermiten seperti surya dan angin.

Dengan kata lain, Api Prometheus adalah gambaran keberanian mengambil keputusan berdasarkan pengetahuan yang tersedia dan potensi manfaat jangka panjang.

*Lilin Ikarus sebagai Metafora Ketakutan Kolektif*

Namun cerita Ikarus mengingatkan kita bahwa keberanian tanpa perhitungan dapat berujung petaka. Dalam konteks nuklir Indonesia, ketakutan publik sering kali justru berada di sisi yang berlawanan: sayap lilin yang dibuat karena kita memilih tetap jauh dari realitas teknologi, dan mendekat justru ketika informasi yang kita miliki tidak lengkap.

Ketakutan itu punya sejarah panjang. Chernobyl dan Fukushima menjadi memori global yang sulit hilang. Hiburan populer memperkuat persepsi bahwa nuklir identik dengan bom atau kehancuran. Hal ini membuat masyarakat enggan percaya pada fakta teknis.

Padahal secara ilmiah, reaktor listrik tidak dapat meledak seperti bom karena tingkat pengayaannya sangat rendah. Desain generasi terbaru pun memakai keselamatan pasif yang dapat menghentikan reaksi otomatis bila sistem utama gagal.

Data global menunjukkan tingkat kematian akibat energi nuklir berada pada sekitar 0,03 jiwa per TWh, lebih rendah dibanding energi surya atau angin. Limbah radioaktif tinggi selama beberapa dekade ini pun hanya setara satu kolam renang Olimpiade dan sebagian besar dapat didaur ulang.

Fakta-fakta ini sering tidak didengar karena ketakutan sudah membentuk ‘sayap lilin’  yang mudah meleleh bahkan sebelum mendekati matahari.

Lilin Ikarus dalam kasus Indonesia adalah kombinasi trauma, informasi yang setengah matang, serta ketidakpercayaan terhadap institusi pengelola energi.

i dalam analisis kebijakan publik, ini disebut risiko persepsi, yaitu ketika persepsi risiko lebih besar daripada risiko aktual. Ia membuat kita berhenti, padahal jalan di depan mungkin aman.

*Memilih Jalan: Mengelola Risiko tanpa Terjebak Ketakutan*

Perdebatan nuklir sering diperlakukan seperti perdebatan moral, padahal seharusnya menjadi perdebatan teknis yang berbasis data. Bangsa yang besar bukan bangsa yang tidak takut, tetapi bangsa yang tahu mana takut yang rasional dan mana yang tidak.

Indonesia sebenarnya tidak kekurangan dasar teknis. Kita punya sumber daya thorium, lembaga penelitian nuklir, dan regulasi keselamatan yang terus diperbaiki. Proyek-proyek demonstrasi mulai berjalan. Tantangan terbesar justru berada pada kepastian kebijakan dan kejelasan institusi. Masalah terbesar bukan teknologinya, tetapi absennya keputusan yang konsisten.

Dalam ekonomi transisi, negara sering dihadapkan pada dilema: menunda karena takut salah, atau bergerak karena biaya penundaan justru lebih besar. Sektor energi adalah contoh klasik.

Bila Indonesia terus menunda nuklir, kita berisiko mempertahankan bauran energi kotor hingga puluhan tahun ke depan. Kombinasi banjir, polusi, dan biaya kesehatan adalah konsekuensi ekonomi yang harus dibayar generasi mendatang.

*Pelajaran dari Prometheus dan Ikarus*

Mitologi Yunani memberi kita dua pelajaran penting. Prometheus dihukum bukan karena memberikan api kepada manusia, tetapi karena melakukannya tanpa restu para dewa. Ikarus jatuh bukan karena ia ingin terbang, tetapi karena ia menggunakan bahan yang tidak tepat. Dua cerita itu mengingatkan bahwa persoalan bukan pada ambisinya, melainkan pada kesiapan dan perhitungan.

Dalam konteks Indonesia, Api Prometheus adalah simbol inovasi dan keberanian mengambil langkah yang diperlukan untuk transisi energi. Lilin Ikarus adalah metafora keputusan yang diambil tanpa pengetahuan, atau ketakutan yang dipelihara tanpa dasar.

Kita tidak perlu mengulang dua tragedi itu sekaligus. Indonesia tidak sedang kekurangan api; teknologi nuklir modern tersedia, cadangan bahan bakar ada, dan kebutuhan energi bersih mendesak. Yang dibutuhkan hanyalah memastikan kita tidak memakai “sayap lilin” berupa miskonsepsi dan ketakutan, tetapi memakai kerangka kebijakan yang kuat, regulasi yang kokoh, serta komunikasi publik yang jernih.

*Penutup*

Pilihan energi selalu bersifat antargenerasi. Yang kita putuskan hari ini akan menentukan kualitas udara, ekonomi, dan kesehatan anak-anak Indonesia puluhan tahun ke depan.

Bila kita memilih mengikuti ketakutan, sayap lilin itu akan meleleh sebelum kita sempat terbang. Namun bila kita berani mengambil Api Prometheus dengan pengetahuan yang benar dan institusi yang siap, transisi energi Indonesia tidak hanya mungkin, tetapi juga dapat menjadi fondasi kemakmuran baru.

Pada akhirnya, pertanyaannya sederhana. Bukan apakah nuklir itu boleh atau tidak, melainkan apakah kita cukup yakin untuk terbang dengan sayap yang kokoh.

Kita bisa memilih menjadi bangsa yang membangun masa depan energinya, atau bangsa yang hanya melihat peluang itu lewat begitu saja. (Red)

Baca Juga

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama