Penulis: Juli Ramadhani Kontributor Redaksi
Bangka Belitung - Di sepanjang pesisir Pulau Bangka, sisa-sisa kolong tambang menjadi saksi sejarah panjang peradaban yang bertumpu pada logam berkilau dari perut bumi — timah. Dari masa kolonial hingga era modern, timah telah menjadi denyut ekonomi dan identitas masyarakat Bangka Belitung. Namun di balik kilau logam itu, muncul kenyataan baru: sumber daya alam yang digali tanpa henti akhirnya menipis.
Kini, dari tanah yang sama, muncul secercah cahaya lain — bukan dari timah, melainkan dari energi nuklir. Pulau Bangka bersiap menjadi lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama di Indonesia, menandai babak baru dalam perjalanan energi bangsa.
Jika timah adalah warisan masa lalu dari inti tanah, maka nuklir adalah cahaya masa depan dari inti bumi. Keduanya lahir dari kedalaman yang sama: dari rahim alam Indonesia yang tak pernah berhenti memberi kehidupan.
*Timah: Jejak Kekayaan dan Pelajaran Alam*
Bangka dikenal sebagai “Pulau Timah” sejak abad ke-18. Dalam catatan kolonial, logam ini menjadi komoditas strategis dunia. Produksi timah Indonesia — yang sebagian besar berasal dari Bangka dan Belitung — menempatkan negeri ini sebagai salah satu tiga produsen terbesar dunia.
Timah bukan sekadar logam industri; ia adalah bagian dari identitas sosial-ekonomi masyarakat Bangka. Banyak generasi tumbuh dari hasil tambang — membangun rumah, sekolah, bahkan budaya kerja keras yang melekat hingga kini. Namun, seperti setiap sumber daya terbatas, timah mengajarkan tentang batas dan keberlanjutan.
Kegiatan penambangan yang berlangsung selama puluhan tahun meninggalkan tantangan ekologis: kerusakan lahan, perubahan bentang alam, dan kolong-kolong bekas galian yang kini menjadi danau alami. Dari sinilah muncul kesadaran baru: Bangka perlu beralih dari menggali tanah menuju menggali pengetahuan.
Dan nuklir hadir sebagai simbol dari evolusi ekonomi dan energi — peralihan dari eksploitasi alam menuju inovasi ilmu.
*Bangka dan Langkah Menuju PLTN Pertama Indonesia*
Pulau Bangka bukan dipilih tanpa alasan. Kajian tapak yang dilakukan oleh BATAN (kini BRIN) sejak 2011 menunjukkan bahwa Bangka memiliki kondisi geologi yang stabil, risiko gempa rendah, serta lokasi pesisir yang ideal untuk sistem pendingin laut.
Hasil kajian tersebut menjadikan Bangka sebagai kandidat utama pembangunan PLTN Indonesia, sesuai dengan target yang tercantum dalam RUPTL 2025–2035, RUKN 2025–2060, dan RPJPN 2025–2045.
Pemerintah menargetkan PLTN pertama beroperasi pada 2032 sebagai bagian dari strategi mencapai Net Zero Emission (NZE) tahun 2060. Bangka dipandang strategis — bukan hanya karena kestabilan geofisikanya, tetapi juga karena posisinya yang dekat dengan sistem kelistrikan Sumatera dan Jawa, memudahkan integrasi jaringan nasional.
Di sinilah peran Bangka berubah: dari pemasok logam untuk industri, menjadi pemasok energi bersih untuk masa depan bangsa.
*Cahaya Nuklir: Energi dari Inti Bumi*
Energi nuklir adalah energi bersih berbasis sains, lahir dari proses fisi inti atom uranium atau thorium. Dalam reaksi ini, atom membelah dan melepaskan energi dalam jumlah sangat besar.
Satu gram uranium dapat menghasilkan energi setara 3 ton batu bara — tanpa membakar apa pun, tanpa menghasilkan karbon dioksida, tanpa asap yang mencemari udara.
Dengan kapasitas daya besar dan tingkat keandalan tinggi, PLTN akan menjadi tulang punggung energi nasional (baseload energy) yang melengkapi peran energi surya, angin, dan air. Berbeda dari energi terbarukan yang bergantung cuaca, reaktor nuklir bekerja 24 jam sehari tanpa henti.
Bagi Indonesia yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% per tahun sebagaimana dicanangkan dalam RPJPN, kestabilan energi seperti ini bukan lagi pilihan — tapi kebutuhan mutlak.
Teknologi Baru: Aman, Efisien, dan Ramah Lingkungan
PLTN Bangka direncanakan menggunakan Small Modular Reactor (SMR), teknologi generasi baru yang lebih kecil, efisien, dan aman dibanding reaktor konvensional.
SMR dirancang dengan sistem keselamatan pasif, artinya reaktor dapat menghentikan reaksi otomatis jika terjadi gangguan tanpa perlu listrik eksternal. Beberapa desain, seperti Molten Salt Reactor (MSR) yang dikembangkan oleh ThorCon Power Indonesia, bahkan menggunakan cairan garam sebagai media bahan bakar dan pendingin — tanpa tekanan tinggi, tanpa risiko ledakan.
Teknologi ini juga memungkinkan pembangunan secara modular di daerah kepulauan, seperti Bangka, tanpa memerlukan lahan luas atau jaringan listrik besar.
Selain menghasilkan listrik, PLTN jenis ini bisa dimanfaatkan untuk desalinasi air laut, produksi hidrogen bersih (green hydrogen), dan panas industri. Artinya, reaktor nuklir dapat berfungsi tidak hanya sebagai pembangkit listrik, tapi juga sumber daya industri multiguna.
*Harmoni antara Reaktor dan Laut*
Salah satu kekhawatiran masyarakat terhadap PLTN adalah dampaknya terhadap laut. Namun, reaktor modern didesain untuk bersahabat dengan lingkungan pesisir.
PLTN Bangka akan menerapkan sistem pendingin tertutup (closed-loop cooling system), di mana air laut disirkulasikan secara internal tanpa dilepaskan langsung ke laut. Air yang digunakan untuk pendingin tidak bersentuhan dengan zat radioaktif dan dikembalikan pada suhu yang sesuai baku mutu lingkungan.
Dengan cara ini, biota laut tetap aman, ekosistem pesisir terjaga, dan tidak ada polusi termal. Bahkan, dalam beberapa studi IAEA (2023), kawasan sekitar PLTN sering berkembang menjadi zona konservasi laut alami, karena area tersebut terlindungi dan termonitor ketat.
Di Bangka, laut bukan musuh reaktor — ia adalah mitra alami dalam menjaga keseimbangan energi dan ekologi.
*Transformasi Sosial dan Pemberdayaan Lokal*
Pembangunan PLTN di Bangka tidak hanya tentang infrastruktur fisik, tapi juga pembangunan manusia. Ribuan tenaga kerja lokal akan terlibat dalam tahap konstruksi dan operasional, membuka lapangan kerja baru yang lebih berkelanjutan.
Pemerintah bersama BRIN dan Pemprov Kepulauan Bangka Belitung telah memulai program edukasi nuklir masyarakat, dari tingkat sekolah hingga perguruan tinggi. Kurikulum lokal mulai mengenalkan konsep energi bersih, radiasi, dan keselamatan nuklir.
Melalui rencana pembentukan NEPIO (Nuclear Energy Program Implementing Organization), koordinasi lintas kementerian juga tengah diperkuat agar infrastruktur regulasi, SDM, dan keselamatan siap sepenuhnya sebelum 2032.
Yang menarik, survei BRIN (2024) menunjukkan dukungan publik terhadap PLTN di Bangka mencapai 70%, tertinggi di Indonesia. Ini menandakan perubahan besar dalam persepsi masyarakat: dari ketakutan menjadi kebanggaan.
*Timah dan Nuklir: Dua Inti dari Satu Semangat*
Jika ditarik benang merahnya, timah dan nuklir memiliki kesamaan filosofis. Keduanya lahir dari inti bumi, keduanya menyimpan energi dan nilai tinggi, dan keduanya membutuhkan ilmu untuk memanfaatkannya secara bijak.
Timah adalah saksi perjuangan ekonomi lokal, sedangkan nuklir adalah tonggak perjuangan energi nasional. Dari bahan tambang yang menggantungkan hidup pada pasar, menuju teknologi yang menggantungkan masa depan pada pengetahuan.
Dengan PLTN Bangka, Indonesia tidak sedang menolak warisan timah — justru menyempurnakannya. Dari menggali logam yang terbatas, kini kita memanen energi yang tak habis. Dari hasil bumi yang menipis, kini kita beralih ke energi abadi dari atom.
*Bangka dalam Peta Energi Bersih Indonesia*
Secara strategis, PLTN Bangka akan menjadi titik awal peta energi bersih nasional. Setelah beroperasi, proyek ini dapat dikembangkan menjadi jaringan reaktor modular di beberapa lokasi pesisir lain seperti Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara.
Dalam jangka panjang, Indonesia dapat membentuk poros energi nuklir Asia Tenggara, bekerja sama dengan Korea Selatan, Jepang, dan Uni Emirat Arab yang lebih dulu mengoperasikan PLTN modern.
Lebih dari sekadar listrik, keberadaan PLTN Bangka akan memperkuat kedaulatan energi nasional, mengurangi impor bahan bakar fosil, dan menstabilkan harga listrik. Dengan demikian, PLTN menjadi penopang utama transisi energi Indonesia menuju 2060.
Jejak timah di Bangka adalah kisah masa lalu yang membentuk identitas bangsa; sedangkan cahaya nuklir adalah kisah masa depan yang akan menerangi perjalanan kita berikutnya.
Dari timah, kita belajar arti kerja keras, keberanian, dan ketergantungan pada sumber daya alam. Dari nuklir, kita belajar arti pengetahuan, kehati-hatian, dan keberlanjutan. Kedua kisah ini berpadu di Pulau Bangka — tanah yang tak hanya kaya secara geologis, tetapi juga secara makna.
Ketika reaktor pertama nanti berdiri di tepian laut Bangka, ia tidak hanya akan memancarkan listrik, tetapi juga simbol kebangkitan ilmu pengetahuan dan kemandirian bangsa.
Lautnya tetap biru, tanahnya tetap subur, dan langitnya bebas dari asap karbon. Dari inti tanah lahir logam; dari inti atom lahir cahaya. Dari Bangka, Indonesia menunjukkan kepada dunia bahwa energi bersih bisa lahir dari warisan bumi yang sama — jika dikelola dengan ilmu, tanggung jawab, dan cinta terhadap negeri. (Red)

