Lingkungan di Era Energi Bersih

Lingkungan di Era Energi Bersih

Penulis: Sunarto Kontributor Redaksi


Jakarta - Tidak ada percakapan tentang masa depan energi Indonesia yang lengkap tanpa kehadiran aktivis lingkungan. Mereka adalah suara kritis yang, suka atau tidak, membantu negara tetap waras ketika euforia pembangunan mulai terlalu tinggi.

Karena itu, ketika sebagian ilmuwan dan pemerintah mulai menghidupkan kembali wacana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), suara yang paling lantang muncul justru dari kelompok yang paling peduli terhadap bumi yaitu para aktivis.

Pertanyaannya sederhana namun tajam, Jika PLTN disebut “energi bersih”, mengapa aktivis justru menolak? Jawabannya tidak sederhana.

Penolakan itu hadir dari sejarah panjang luka ekologis, ketidakadilan sosial, dan ketidakpercayaan pada birokrasi. Untuk memahaminya, kita perlu melihat lebih dalam—tidak untuk menyalahkan, tetapi untuk memahami.

Indonesia adalah negara yang luas, indah, dan sering terluka oleh kebijakan energi. Aktivis membawa ingatan panjang tentang sungai yang hancur akibat tambang, hutan yang hilang demi sawit, udara beracun dari PLTU batubara.

Bagi mereka, setiap proyek besar energi mengandung satu kata kunci: risiko. Dan risiko itu tidak pernah jatuh kepada kelompok kuat, melainkan kepada masyarakat kecil yang tinggal paling dekat dengan proyek.

Karena pengalaman itu, ketika PLTN muncul sebagai wacana, sebagian aktivis melihatnya bukan sebagai “energi masa depan”, tetapi sebagai “versi baru dari industri lama yang menyakitkan”.

Bagi mereka, meskipun teknologinya berubah, pola kekuasaannya tetap yaitu negara memegang kendali, masyarakat menanggung akibat. Trauma kolektif seperti ini tidak bisa dihapus hanya dengan data teknis, seberapa ilmiah pun data itu.

Inilah alasan paling sering terdengar. Aktivis bertanya, “Jika kita membangun PLTN hari ini, siapa yang menjamin limbahnya aman 300 tahun ke depan?”

Pertanyaan itu sah. Limbah nuklir tingkat tinggi memang memerlukan manajemen jangka panjang, lebih panjang dari umur negara modern mana pun. Padahal Indonesia masih berjuang mengelola sampah plastik harian, limbah tambang, kebocoran pipa minyak, tumpahan solar di laut.

Dalam perspektif aktivis, membayangkan birokrasi Indonesia mengelola limbah nuklir dalam skala ratusan tahun terdengar seperti lelucon pahit. Apakah kekhawatiran ini berlebihan? Mungkin untuk sebagian kalangan.

Namun, dari sudut pandang mereka, kehati-hatian adalah moralitas.

*Risiko Kecelakaan: Ketakutan yang Tidak Pernah Benar-Benar Hilang*

Insinyur dan ilmuwan boleh saja menjelaskan bahwa teknologi Small Modular Reactor (SMR) modern jauh lebih aman. Bahwa reaktor tidak akan meledak seperti bom. Bahwa desainnya pasif, otomatis berhenti jika terjadi gangguan.

Tetapi aktivis melihat dunia dengan cara berbeda. Mereka bukan hanya melihat teknologi, tetapi juga sistem sosial yang mengoperasikan teknologi itu. Dan Indonesia, sayangnya, memiliki rekam jejak kecelakaan industri, korupsi dalam pengadaan proyek besar, kebocoran informasi, rendahnya standar penegakan hukum lingkungan.

Untuk aktivis, risiko kecil tetap risiko. Dan risiko itu membesar jika birokrasi tidak disiplin. Bukan teknologinya yang mereka takuti, melainkan manusia yang menjalankan teknologi itu.

Pada akhirnya, penolakan aktivis terhadap PLTN bukanlah penolakan buta. Mereka tidak menolak ilmu pengetahuan. Mereka menolak ketidakpastian sosial, ketidakadilan lingkungan, dan kelalaian birokrasi. Dari perspektif netral, kita bisa melihat bahwa ilmuwan membawa optimisme teknologi, aktivis membawa kehati-hatian moral, negara membawa ambisi pembangunan.

Indonesia membutuhkan ketiganya. Karena masa depan energi bukan hanya tentang listrik. Ini tentang bangsa seperti apa yang ingin kita bangun, Bangsa yang aman, adil, dan berani belajar dari masa lalu.

Sering kali kita berbicara tentang energi bersih hanya sebatas panel surya, turbin angin, atau listrik hijau. Padahal, PLTN adalah salah satu sumber energi paling bersih yang pernah diciptakan manusia. Tidak ada asap hitam. Tidak ada sulfur, jelaga, timbal, atau partikulat PM2.5 yang membunuh diam-diam jutaan orang setiap tahun.Tidak ada sungai penuh limbah batubara. Tidak ada anak-anak yang bermain di sekitar cerobong pembakaran. Energi nuklir tidak menghasilkan polusi udara.

Dari sudut pandang kesehatan publik, nuklir—secara statistik ilmiah—adalah salah satu sumber listrik paling aman di dunia. Jika kita benar-benar mencintai lingkungan, maka kita harus berani mengakui, kadang yang paling ramah lingkungan adalah yang paling ditakuti.

Dunia sedang berubah. Uni Eropa menerapkan carbon border tax. Perusahaan global berpindah ke rantai pasok rendah karbon. Investor menggantungkan dana hanya pada negara dengan komitmen energi bersih.

Dalam bahasa sederhana, di masa depan, negara yang masih membakar batu hitam akan tertinggal. Indonesia memiliki ambisi besar: hilirisasi industri, produksi baterai listrik, ekspor kendaraan listrik, pengembangan semikonduktor, industri hijau di Kalimantan, industrialisasi nikel dan mineral strategis.

Semua itu membutuhkan listrik stabil dalam jumlah besar. Dan energi terbarukan—betapapun penting—tidak bisa bekerja sendirian untuk menopang beban industri besar.


PLTN adalah baseload yang stabil, kuat, dan dapat diandalkan 24 jam. Di sinilah nuklir menjadi tulang punggung transisi energi Indonesia.

Masyarakat berhak takut. Aktivis berhak kritis. Itu sehat.

Kritik bukan hambatan transisi energi; justru kritik adalah rem yang membuat kendaraan bangsa tetap aman. Namun ketakutan tidak boleh menjadi penguasa utama masa depan. Ia boleh duduk di kursi kemudi bersama harapan—tetapi bukan mengambil alih seluruh setir.

Sejarah dunia menunjukkan; Pesawat dianggap mustahil dan mematikan. Kereta dianggap iblis besi yang mencuri jiwa. Internet dianggap ancaman moral.

Tetapi tanpa semua itu, umat manusia tidak akan bergerak maju.

PLTN berada di titik yang sama. Ia menakutkan karena ia kuat—tetapi kekuatan itu justru yang dibutuhkan bumi hari ini. (Red)

Baca Juga

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama